Senin, Februari 11, 2008

Makna Hidup

HIDUP YANG BERMAKNA DI KOTA METROPOLITAN JAKARTA:

HIDUP YANG BERTANGGUNG JAWAB

Perjalanan Indonesia kontemporer, dalam era globalisasi telah menghasilkan banyak kontradiksi. Di satu sisi terjadi de-tradisionalisasi dan berkembangnya kosmopolitanisme. Disisi lain menguatkan konservatisme sehingga memicu terjadinya krisis identitas (budaya dan agama) yang melahirkan intimidasi, diskriminasi dan kekerasan.[1]

Jakarta merupakan contoh utama dari gambaran kondisi kehidupan masyarakat sebagaimana disebutkan diatas. Kota dengan julukan metropolitan city, bahkan akan menjadi megapolitan city ini, memiliki luas daratan sekitar 660 km², didiami oleh hampir 10 juta jiwa penduduk[2] dan kepadatan penduduk saat ini berdasarkan data statistik sudah mencapai lebih dari 13.000 jiwa/km² ( bandingkan dengan kepadatan penduduk yang wajar adalah 1.000 jiwa/km² ). Sebagai Ibukota Negara, Jakarta merupakan pusat pemerintahan sekaligus sebagai pusat kegiatan ekonomi, perdagangan, pusat kegiatan sosial dan budaya dengan berbagai sarananya.

Kepadatan penduduk saat ini ternyata bukanlah satu-satunya permasalahan yang dihadapi oleh kota Jakarta.

Masalah lingkungan seperti pencemaran air sungai, kesulitan pengelolaan limbah dan polusi udara menambah

kesan betapa sumpeknya hidup dikota Jakarta. Ditambah lagi dengan kekerasan dan beratnya persaingan untuk

dapat hidup di Jakarta.


[1] Maria Hartiningsih, Mencari Jawaban dalam Etnofilsafat, Kompas, 24 Agustus 2007, 59

[2] Situs http://bps.jakarta.go.id, Badan Pusat Statistik DKI Jakarta, 2007

SUMBER DAN TUJUAN HIDUPKU

Hidup manusia secara dasariah terkait dengan YANG LAIN serta malah merupakan pemberian, anugerah, karunia dari YANG LAIN itu. SANG HIDUP itu merupakan asal hidup manusia dan sekaligus arah gerak hidup manusia, Dialah ALLAH. Bahwa menyadari hidup manusia secara keseluruhan dan pada dasarnya mempunyai makna maka arti seluruh tindakan manusia diukur menurut kadar, sejauh mana tindakan itu semakin ataukah kurang mendekatkan manusia pada SANG MAKNA UTAMA. Manusia memerlukan kemampuan untuk mendengarkan sampai kepada lubuk hati yang mendalam, yaitu suatu suara hati menuju kesempurnaan.[1]

Kesempurnaan yang menjadi tujuan akhir manusia adalah ketika melekat dan menyatu dengan-Nya. Ditengah bermacam-macamnya dorongan, keinginan, memang tidak mudah menangkap KEHENDAK ALLAH maupun SABDANYA. Oleh karena itu perjalanan hidup ini dijalankan dengan sadar oleh manusia melalui proses mencari dan mencari…. Orang berkata bahwa jika orang mencari, ia hanya akan melihat hal-hal yang ia cari. Itu berarti dia merasa tertarik, terpikat dan dipanggil oleh ALLAH yang ESA. Ia mencari karena hendak mengejar suatu tujuan. Dan hanya tujuan itu yang terus membayang-bayangi hidupnya. Hanya dengan bebas dan menemukan, manusia bisa merasakan kepenuhan yang datang menghampirinya dengan berlimpah-limpah. Oleh karena itu perjalanan hidup manusia dapat dikatakan peziarah tanpa melakukan ziarah itu sendiri, sebagaimana Gabriel Marcel pernah menulis buku dengan judul Homo Viator ( manusia di perjalanan ), rumusan sederhana tentang manusia pada konkretnya. Hidup adalah perjalanan. Manusia berjalan, tidak melarikan diri. Ia bejalan karena percaya pada hidup dan arah gerakannya.[2]

Kepercayaan pada hidup, dan pada potensi-potensi perkembangan yang ada didalamnya merupakan suatu “transedensi kedepan”. Sebab hidup memiliki potensi untuk mengatasi diri. Percaya pada potensi-potensi itu, itulah pengharapan, pada dasarnya pengharapan adalah filsafat hidup, dinamika hidup yang menggerakkan diri sendiri. Pusat pengharapan adalah kepribadian manusia, dan itu berarti keterbukaan total. Juga terhadap maut, manusia tetap dapat membuka diri untuk masa depan, harapan akan masa depan yang lebih baik. Maka itu berarti juga bahwa manusia percaya pada YANG TAK TERBATAS oleh dunia ini.[3]

ALLAH itu sungguh ESA. Dia pemberi hidup kita semua. Dia sama-sama BAPA bagi umat seluruh dunia. Kesadaran manusia akan makna hidupnya yang sejati menggerakkan hati nurani, yang tersentuh oleh pesan-pesan WAHYU ILAHI, telah menumbuhkan Agama. Kesadaran agama yang matang, mendalam dan dewasa, memberikan peran penting sebagai pejuang semangat kemanusiaan. Kemanusiaan yang lahir dari kesadaran religius adalah kemanusiaan yang benar-benar diyakini, yang benar-benar kuat motivasinya. Bagi manusia yang bersangkutan, kemanusiaan itu merupakan panggilan hidup. Memeluk Agama secara dewasa membawa kewajiban untuk mencari dengan aktif mengembangkan nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ajaran agama itu, agar “manusia ber-TUHAN” tidak menjadi pemeluk agama dengan sikap yang sempit, fanatik dan munafik.

Aku memiliki keyakinan iman, YESUS KRISTUS adalah seorang yang sangat menghayati persatuannya dengan alam, dengan sesama serta terus menerus berkembang dalam hal itu semua dan dalam hubungan dengan YANG ILAHI. Dia diimani sebagai TUHAN. Bagi Dia, ALLAH sungguh kuasa, dalam hubungan yang mesra sekali, maka dari itu disebutnya BAPA. YESUS KRISTUS adalah ALLAH yang masuk kedalam kemanusiaan dengan seluruh budi dan daya ciptanya. Dialah ALLAH, yang hadir dalam kebudayaan manusia. Ia juga sebagai TELADAN sehingga dilihat oleh pengikut-pengikut-Nya sebagai dasar, isi dan tujuan hidup mereka seutuhnya, sampai membudaya, dalam kekristenan. Oleh karena itu manusia untuk menuju pemenuhan hidup, mencapai puncak makna hidupnya, dan menjadi sempurna adalah bagaimana manusia bersatu dengan sumber dan tujuan akhir hidupnya, bersatu dengan YANG ILAHI.[4]

[1] BS Mardiatmadja SJ, Dasar-Dasar Hidup Religius: Panggilan Hidup Manusia ( Jogyakarta : Kanisius, 1993), 73-79

[2] Tom Jacobs, Musafir dalam Batin, Majalah Basis, No 09-10, (2007), 3,4

[3] Ibid, 6

[4] BS Mardiatmadja SJ, Dasar-Dasar Hidup Religius: Panggilan Hidup Manusia ( Jogyakarta : Kanisius, 1993), 85