Minggu, Januari 25, 2009

Mengintip Bach, Beethoven, Mozart ....

Dengan rasa kagum sejarah mengabadikan nama
komponis-komponis agung seperti Bach, Handel, Haydn,
Mozart, Beethoven, Schubert dan lain-lain. Mereka
adalah jenius yang menghasilkan musik yang memberi
rasa indah kepada hati umat untuk berabad-abad
lamanya.

Mungkin kita menduga bahwa sebagai jenius mereka
dengan mudah menghasilkan karya-karya besar. Dugaan
itu keliru. Karya mereka bukan lahir begitu saja,
melainkan melalui banyak pergumulan belajar dan
berdoa. Marilah kita mengintip pergumulan mereka.

JOHANN SABASTIAN BACH (1685-1750) sudah menjadi yatim
piatu pada usia sembilan tahun, justru pada saat ia
belajar mengembangkan minatnya pada musik. Tetapi Bach
berkemauan keras. Ia membaca buku hanya dengan sinar
bulan yang masuk ke jendela kamarnya. Ia tidak segan
berjalan kaki sejauh puluhan bahkan ratusan kilometer
selama berhari-hari untuk bisa mendegarkan konser
organ. Sebelum mengarah sebuah lagu, lama Bach berdiam
diri ... lalu di kertas kosong yang akan digunakannya
ia menulis : J.J. (Jesu Juva, artinya Yesus, tolonglah
saya) Kemudian kalau sudah selesai pada bagian akhir
kertas itu Bach menulis : S.D.G. (Soli Deo Gloria,
artinya Kemuliaan bagi Allah). Bach mengagumi Daud
yang memberikan tempat yang penting pada nyanyian dan
musik dalam ibadah. Dalam Alkitabnya, di bawah 1
Tawarikh 25, Bach mencatat :"Musik adalah buah Roh
Kudus." Bach juga sangat terkesan pada 2 Tawarikh
5:13-14 "Lalu para peniup nafiri dan para penyanyi itu
serentak memperdengarkan paduan suaranya ... Pada
ketika itu rumah Tuhan dipenuhi awan ... kemuliaan
Tuhan memenuhi rumah Allah."

GEORGE FREDERIC HANDEL (1685-1759) mempunyai cara lain
dalam pergumulan mencari ilham. Untuk mengarang sebuah
oratorium Handel mengurung diri selama berhari-hari di
kamarnya. Ia tidak mau bertemu dengan siapapun. Pada
suatu hari ia pernah keluar dari kamarnya memegang
kertas-kertas berisi karyanya sambil menangis dan
berteriak, "Saya telah melihat sorga, saya telah
melihat Tuhan!"

FRANZ JOSEPH HAYDN (1732-1809) lahir dalam keluarga
miskin di desa di pedalaman Austria. Ia mencari nafkah
dengan jalan menjadi pemain biola di depan restoran.
Baru kemudian hari ia bekerja sebagai musikus di
rumah-rumah bangsawan. Haydn dijuluki "Bapak segala
simfoni", sebab ia mengarang begitu banyak simfoni.
Sebelum ia mengarang suatu simfoni, ia lebih dulu
bertelut di depan pianonya dan meneduhkan diri. Ia
pernah menjelaskan, "Dalam keteduhan seperti itulah
saya meminta bakat yang diperlukan untuk bisa
memuliakan Tuhan dengan pantas."

WOLFGANG AMADEUS MOZART (1756-1791) belajar piano pada
usia empat tahun, dan pada usia enam tahun ia sudah
bermain konser. Segala sesuatu berjalan begitu cepat
dalam hidup Mozart. Ia melejit ke atas sebagai pemusik
yang paling populer di Austria. Banyak orang jadi
penggemarnya, tetapi banyak juga yang membenci dan iri
kepadanya. Pernah Mozart menulis kepada ayahnya, "Papa
jangan khawatir, saya dipelihara Tuhan. Saya sering
takut Tuhan marah ..., tetapi saya merasakan kemurahan
hati dan kelemah-lembutan Tuhan." Mungkin karena
merasakan kemurahan Tuhan, maka Mozart bermurah hati
kepada banyak orang. Ketika rekannya sakit, Mozart
menggantikan kawannya untuk menyelesaikan karyanya,
lalu seluruh pembayaran untuk karya itu diserahkan
kepada kawannya. Mozart meninggal pada usia 35 tahun
dalam keadaan yang mengenaskan. Untuk membeli peti
jenazah pun tidak tersedia uang.

LUDWIG VON BEETHOVEN (1770-1827) terserang penyakit
telinga menjelang usia 30 tahun, lalu ia menjadi tuli
secara total. Bayangkan bagaimana terpukulnya seorang
komponis lagu kalau ia menjadi tuli. Dalam
kesedihannya ia menulis, "Aku merasa sepi, sangat
sepi. Tetapi aku merasa Tuhan dekat." Beethoven banyak
membaca buku renungan. Buku kegemarannya adalah
Imitatio Christi (artinya: Meniru Kristus) karangan
Thomas a Kempis. Walaupun Beethoven tuli, namun ia
tetap produktif sepanjang hidupnya dengan menghasilkan
begitu banyak simfoni, oratorio, opera dan sonata
piano yang menakjubkan. Salah satu warisannya adalah
nyanyian "Kami Puji Dengan Riang" di Kidung Jemaat,
no. 3.

FRANZ PETER SCHUBERT (1797-1828) lahir dalam keluarga
guru sekolah dasar yang miskin. Untuk mengarang lagu
ia tidak mampu membeli kertas, sehingga ia menulis di
kertas bekas. Schubert meninggal dalam usia 32 tahun
karena wabah typhus yang melanda perkampungan kumuh di
kota Wina tempat ia tinggal. Dalam catatannya ia
menulis : "Ketika saya menciptakan musik, saya
beribadah kepada Tuhan, dan saya menciptakan musik
supaya orang beribadah kepada Tuhan."

Tulisan di atas bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa
komponis-komponis besar itu orang-orang sempurna.
Mereka manusia biasa dengan sifat buruknya
masing-masing. Misalnya, Handel dikenal sebagai orang
yang suka mengumpat dan memaki. Mozart kurang dewasa
dalam kepribadiannya dan suka memboroskan uang untuk
berfoya-foya. Beethoven gampang naik darah, sehingga
ia pernah melemparkan makanan di piring ke wajah
seorang pramusaji restoran hanya karena makanan itu
tidak sesuai dengan yang dia pesan.

Yang mau dicatat di sini adalah bahwa orang-orang
jenius itu dengan rendah hati mencari Tuhan sebagai
sumber ilham. Mereka merasakan kedekatan dan keakraban
dengan Tuhan sebagai saat-saat yang mengilhami karya
musik mereka. Mereka mengaku bahwa bakat mereka adalah
pemberian Tuhan dan adalah pantulan kemuliaan Tuhan,
karena itu untuk kemuliaan Tuhan jugalah mereka
mempersembahkan karya mereka yang agung itu. Kata dan
nada yang lahir dari jari mereka adalah sentuhan
tangan Tuhan. Ilham yang mereka peroleh adalah
percikan Roh Tuhan.

CATATAN-CATATAN

. Bdk. mis. de Vries hal. 29dst; rahner hal 23dst.

2 Bdk. juga tulisan-tulisan orang yang dipenjara, seperti Victor Frankl dan F. Bonhoeffer.

3 Rahner hal. 3dst.

4 de Vries hal. 9dst.

5 Kitab-kitab Kebijaksanaan dari Tradisi Semit dapat menjadi contoh, bagaimanakah kebijaksanaan harian dapat sungguh mempunyai nilai universal.

6 Bdk. sikap kawan-kawan Nabi Ayub.

7 Kaum hedonis ini tidak hanya ditemukan dalam jaman purba tetapi juga kini.

8 Guru-guru kerohanian yang besar seperti Confucius mengajarkan hal ini.


by galilean mission

Senin, Desember 29, 2008

MISI KRISTEN YANG RELEVAN DAN EFEKTIF DALAM MASYARAKAT PLURALIS

PENDAHULUAN

1.1. Alasan Penulisan

Kemajemukan agama dan kebudayaan serta kemiskinan merupakan kenyataan yang mewarnai masyarakat Indonesia saat ini. Sebagai bagian dari Asia secara geografis, realitas Indonesia sebagaimana bangsa-bangsa Asia lainnya yang pernah mengalami kolonialisme, telah meninggalkan warisan masa lalu yang kompleks baik secara sosial, ekonomi, budaya dan keagamaan.[1]

Pembangunan yang telah dilakukan dari masa kemerdekaan sampai dengan masa reformasi saat ini belum mencapai hasil yang optimal. Pluralisme masyarakat merupakan tema yang penting dalam agenda kehidupan bersama di tengah masyarakat, hal ini ditandai dengan masih banyaknya konflik disintegrasi serta konflik dan perseteruan yang disebabkan oleh pluralisme masyarakat.

Survey yang dilakukan bersama oleh The Wahid Istitute pada pertengahan bulan Mei 2007 di 33 provinsi seluruh Indonesia menyatakan bahwa sikap toleran dalam kehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini sudah berada di status “lampu kuning”. Artinya, memerlukan perhatian sangat serius serta program-program lebih terarah untuk bisa segera menyelamatkan, sebelum nantinya jatuh ke dalam situasi yang semakin buruk. Ini tanggung jawab kita bersama dalam berbangsa. Dalam survey ini masyarakat mayoritas Indonesia yaitu Muslim menunjukkan 42,2 % setuju bahwa kerukunan antar umat beragama sekarang ini dalam kondisi kritis.[2]

Alasan inilah yang digunakan oleh Penulis untuk mengangkat tema pluralisme masyarakat dalam konteks kehidupan masyarakat Indonesia yang juga merupakan konteks dimana Kristen dalam interaksi antar agama memberikan tempat dan sumbangan, untuk memperbaiki kehidupan bermasyarakat ini sebagai upaya dan tanggung jawab bersama menuju masa depan yang lebih baik.

1.2. Latar Belakang

Pemikiran keagamaan di Indonesia saat ini sedang mencari formatnya yang lebih memadai untuk menjawab tantangan-tantangan yang spesifik. Secara praktis yang dihadapi yaitu bagaimana kontribusi agama untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan, yaitu dalam menghadapi kelompok-kelompok masyarakat miskin, kekerasan, kerusakan lingkungan, ketidakadilan, masalah gender, orang yang dimarjinalisasi dan didiskriminasi hak-hak asasinya dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, budaya dan agama.[3]

Akibat dari ketidak-berhasilan negara dalam megatasi masalah-masalah kemanusiaan tersebut, maka kegagalan mewujudkan keadilan sosial akan menciptakan ketegangan konflik antar agama/kepercayaan, memperparah tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia. Adalah tugas dan panggilan Gereja dan agama-agama lain untuk secara positif dan bersama-sama berpartisipasi dalam meletakkan landasan moral , etik dan spiritual ( yang bisa diterima dalam kemajemukan) kepada pembangunan nasional.

Apabila Gereja dan agama-agama lain tidak memiliki keprihatinan terhadap masalah ini, maka bangsa ini akan terpuruk kepada kecenderungan sekularisasi, meng-agama-kan negara atau me-negara-kan agama. Gereja harus mengantisipasi “tanda-tanda zaman” ini. Gereja jangan lagi hanya “bersembunyi” di dalam kurungan emas Anugerah Allah dan melegitimasikan tindakannya dengan pernyataan “Gereja tidak berpolitik”, “Gereja hanya mengelola rahmat (grace)”.[4]

Bonhoeffer menegaskan bahwa Gereja adalah “the church for others”. Gereja harus hidup berbagi dalam masalah-masalah sekuler dari kehidupan manusia biasa, bukan dengan menguasai melainkan dengan membantu dan melayani. Untuk menghindari latar belakang “humanis liberal borjuis”, ungkapan ini dikemudian hari diubah menjadi “ the church with others”. Gereja dilihat secara essensial sebagai misi dan keberadaan Gereja adalah demi misi.[5]

Paradigma misi saat ini menekankan bahwa pemilik misi adalah Allah, Missio Dei ( pengutusan dari Allah), yang menghendaki keselamatan semua orang. Gereja bukan pemilik misi melainkan yang mendapat misi. Bukan hanya para klerus saja , melainkan kaum awam juga mendapat tugas pengutusan.[6]

Pergumulan dewasa ini adalah bagaimana kita bertanggung jawab untuk menghadirkan misi Kristen dalam Gereja masa kini khususnya di Indonesia agar dapat dimengerti, diterima dan hidup dalam masyarakatnya dengan memahami Gereja dalam hubungannya dengan realita yang melingkunginya, pendekatan ini bersifat bottom-up.[7] Dengan pendekatan ini akan menampakkan Gereja menjadi komunitas yang disukai atau diterima oleh masyarakat karena dirasakan kehadirannya.

Kehadiran gereja-gereja di Indonesia dalam bentuk fungsinya seolah tidak terasakan oleh masyarakat, akibatnya kehadiran misionernya menjadi tidak jelas. Tampaknya pemahaman misiologis Gereja masih mengacu kepada pemahaman abad ke-19, diantaranya dengan memandang diri sebagai umat yang terpilih atau yang paling baik untuk membawa manusia menjadi Kristen. Gereja atau Kekristenan masih dipandang sebagai pusat dunia, pusat untuk memperoleh kebahagiaan dan keselamatan serta harus menjadi pusat perhatian.[8]

Pola pikir missioner seperti disebut diatas haruslah diperbaharui atau dikaji ulang secara kontekstual dengan pendekatan, metode dan tujuan yang relevan serta efektif, yaitu bersifat dinamis untuk melayani, berbuat sesuatu dan melihat realita serta inspiratif terhadap perkembangan atau masalah dalam kehidupan masyarakat masa kini. Gereja harus meninggalkan eksklusivitasnya, karena keKristenan di Indonesia merupakan bagian dari bangsa Indonesia sendiri. Misi Kristen di Indonesia bukan lagi memiliki identitas Barat, tetapi beridentitas sebagai salah satu bagian dari kenyataan yang disebut bangsa Indonesia. Kekristenan harus menghadapi realita yang majemuk, budaya Indonesia lebih menekankan unsur-unsur yang memiliki kesamaan daripada keberbedaan.


PEMBAHASAN

2.1. Pemahaman Lama tentang Misi.

Kata “misi” berasal dari bahasa Latin missio, yang berarti pengutusan, Missio Dei berarti pengutusan yang berasal dari atau kepunyaan Allah.[9] Dalam bahasa Belanda dipakai dua istilah yaitu zending untuk perkabaran Injil Protestan dan missie yaitu untuk misi dari Gereja Roma Katolik, hal ini terjadi karena adanya polarisasi dahulu ketika orang membedakan atau memisahkan Gereja Protestan dan Gereja Katolik.

Pengertian tentang misi telah berkembang sejalan dengan perkembangan sejarah misi itu sendiri, untuk melihat corak misi dengan wajah lama akan dipilah sebagai berikut:[10]

1. Foreign Mission yang berwajah kolonial, misi semacam ini berkembang bersamaan dengan misi Kristen Barat yang berdampingan dengan kolonialisme modern. Pemahaman misi ini menekankan segi geografis dalam menafsirkan “Pergilah….” dari Matius 28:18-20 yang diartikan sebagi tugas mengkristenkan semua bangsa yang dianggap masih kafir dan menyembah berhala.

2. Misi “Civilization”, corak misi semacam ini menjadikan Gereja-gereja di di Asia dan bagian Dunia Ketiga lainnya tidak berakar dalam kehidupan bermasyarakat.

3. Misi Penaklukan(penganut) Agama-agama lain, pemahaman misi ini terhadap agama-agama lain adalah penganut agama lain harus ditaklukan. Pengaruh besar dalam usaha zending di Indonesia, termasuk sejarah Gereja-gereja Asia saat itu, hampir kelihatan hubungan yang bersifat permusuhan dengan agama-agama lain.

4. Misi sebagai Church Planting dan Church Growt, abad ke-19 sering disebut juga sebagai the great century mission. Pemahamannya adalah menumbuhkan Gereja dengan penekanan pertambahan jumlah anggota (kuantitatif) merupakan aspek tujuan Allah sendiri untuk memperluas Kerajaan Allah.

5. Misi Individualistis, Pemahaman ini dibatasi oleh pengertian yang pietistis dan individualistis. Missionaris yang membawa pemahaman ini berkaitan dengan pemboncengan misi Kristen Barat dalam ekspansi kolonial sehingga tidak mengganggu misi “politis” yang dijalankan pemerintah penjajah.

2.2. Pergeseran Paradigma Misi dan Misi Yang Relevan Pada Masa Kini.

Setelah berakhirnya dominasi politik Barat maka berjalan seiring dengan dominasi misi Kristen Barat ke Dunia Ketiga dengan bangkitnya agama-agama di seluruh dunia. Era baru ini ditandai dengan munculnya krisis dengan adanya pengaruh dan perubahan-perubahan yang begitu cepat dalam abad ke-20, menurut David J Bosch, ada sejumlah faktor yang mendorong terjadinya krisis yaitu:[11] Perkembangan ilmu teknologi yang menyuburkan sekularisme; “dechristianized” di Barat dalam kehidupan Gereja maupun dunia misi; Barat bukan lagi “negara-negara Kristen” karena sudah dipenuhi oleh agama lain juga; terjadinya kesenjangan ekonomi antara negara kaya dan negara miskin; Munculnya teologi baru dan kontekstual dari Dunia Ketiga dan Gereja di Dunia Ketiga menuntut otonominya dihargai sehingga “wilayah misi” berubah.

Disamping itu muncul juga persoalan intern akibat warisan masa lalu, antara lain adalah:

§ Pemahaman terhadap Matius 28:18-20 dengan tafsiran konservatif menjadi tidak relevan lagi sehingga misi Gereja tidak dianggap sama dengan Kristenisasi.

§ Pengaruh dualisme yang masih cukup kuat, Gereja tidak dipahami sebagai lembaga kerohanian atau misi rohani saja berbeda dengan pemahaman bahwa misi rohani ini harus diubah menjadi misi Kerajaan Allah, meliputi semua bidang kehidupan manusia.

§ Orientasi misi pada pertambahan anggota Gereja, usaha untuk menarik orang banyak dilakukan tidak hanya terhadap penganut agama lain tetapi juga mereka yang menganut aliran atau denominasi lain.

Perbedaan-perbedaan pemahaman tentang misi ini dipengaruhi dan ditentukan oleh paradigma, disebut juga paradigma misi. Beberapa paradigma misi yang didasarkan tidak hanya oleh satu teologi misi telah menentukan bagaimana misi dipahami dan dilaksanakan dan dinilai relevan dalam kurun waktu tertentu.

Hans Kung telah merumuskan istilah paradigma berdasarkan rumusan dari Thomas Kuhn sehingga paradigma misi dapat dirumuskan:

“sebagai model interpretasi dan pemahaman yang mempengaruhi, bahkan menntukan keyakinan dan nilai serta teknik-teknik misi yang dipahami oleh Gereja sebagai suatu komunitas dalam era tertentu”[12]

Mempelajari pergeseran paradigma misi membantu orang-orang Kristen atau Gereja memahami dan melaksanakan misi dalam sejarah kekristenan dan menolong Gereja masa kini untuk memberi arti terhadap misi pada masa kini dan masa depan. Pergeseran paradigma terjadi karena krisis dalam teologi dan kehidupan Gereja. Secara garis besar David J Bosch menunjukkan pergeseran paradigma berdasarkan pembagian waktu yang dibuat oleh Hans Kung, sebagai berikut:[13]

1. Paradigma Misi Apokaliptik dari Gereja Perdana.

2. Paradigma misi Gereja Patristik dan Ortodoks Timur.

3. Paradigma Misi Gereja Katolik Abad Pertengahan.

4. Paradigma Misi Reformasi Protestan.

5. Paradigma Misi Era Pencerahan.

6. Paradigma Misi Ekumenis dalam Era Postmodernisme, menurut David J Bosch, paling sedikit ada tujuh pergeseran dimensi paradigma dari era Pencerahan ke era Postmodernisme dan implikasinya pada misi Gereja:[14]

§ Pergeseran rasionalitas, mendorong Dunia ketiga mengembangkan “teologi naratif” dan “theology as story”.

§ Pergeseran skema “subjek-objek”, dalam Gereja perlu dikembangkan suatu pemikiran holistis yang menekankan “simbiosis”.

§ Penemuan kembali dimensi teologis, yaitu pergeseran dari pemikiran “non-eskatologis” kepada pemikiran eskatologis.

§ Tantangan terhadap “progress thinking, pemikiran ini mendewakan pembangunan. Namun, telah menciptakan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin.

§ Penemuan kembali nilai-nilai dalam fakta kehidupan, misi Gereja pada era ini adalah untuk menetralisir pengaruh ideologi dibalik ilmu pengetahuan.

§ Pergeseran optimisme, misi Kristen harus menghadirkan visi Kerajaan Allah dalam kenyataan eskatologis yang memberi sinar dan menerangi dunia serta memberi arti kepadanya.

§ Pergeseran dari individualism ke ketergantungan positif, komitmen saling bergantung dan”simbiosis” untuk menerima keselamatan dalam relasi yang baru.

Harus disadari adanya ketegangan yang kreatif dari pelbagai dimensi dalam misi antara kesatuan dan kepelbagaian, penyebaran dan integrasi, pluralitas dan holisme sehingga Gereja dapat merumuskan model misi yang relevan pada masa tertentu. Elemen-elemen mendasar yang merupakan tema pokok pada paradigma misi ekumenis ini, yaitu:[15]

1. Gereja dan Misi, eklesiologi yang muncul dalam era ini menyatakan bahwa Gereja harus dilihat secara esensial sebagai misi. Gereja adalah demi misi, dimensi missioner Gereja ikut terlibat dalam kehidupan masyarakat.

2. Gereja dan Dunia, Gereja ada di dunia sebagai tanda dan sarana Kerajaan Allah tampak dalam: perdamaian, keadilan, kebenaran dan kehidupan baru dalam cinta kasih. Gereja adalah umat Allah di tengah-tengan peristiwa-peristiwa dunia atau “komuunitas dari dunia ini”.

3. Penemuan kembali peranan jemaat, misi Gereja yang terutama adalah misi yang dilaksanakan oleh jemaat-jemaat di segala tempat di dunia ini. Perbedaan dintara Gereja diubah menjadi ungkapan partnership in obedience (mitra dalam ketaatan).

4. Misi dan Penginjilan, penginjilan tidak sama dengan misi, namun mempunyai kaitan dan saling berhubungan secara teologis dan praksis. Penginjilan adalah misi, tetapi misi tidak hanya penginjilan. Orang yang melakukan penginjilan adalah seorang saksi bukan hakim dengan mengembangkan relasi sosial dalam tanggung jawab berasama masyarakat.

5. Missio Dei, mencakup seluruh dunia dan semua aspek kehidupan manusia. Perhatian Allah tidak eksklusif didalam dan melalui gereja, tetapi kepada seluruh dunia. Hal ini telah mematahkan pandangan yang sempit tentang misi yang bersifat “Gereja-sentris”.

6. Misi dan Keadilan, penginjilan harus diperluas dengan pelayanan yang menjawab kebutuhan manusia yang meliputi baik transformasi pribadi oleh Roh Allah maupun transformasi sosial-kultural.

7. Misi dan Pembebasan, Teologi pembebasan adalah fenomena yang “multi wajah”, masalah pokok dilihat pada “dominasi” dan “ketergantungan”, penindas dan yang ditindas, kaya dan miskin, kapitalis dan sosialis.

8. Misi dan kesaksian bersama, di Indonesia pola persatuan agak longgar dan lebih menekankan kesatuan spiritual daripada kesatuan stryktural karena karakter paradigma misi ekumenis, yaitu kesatuan yang bukan berarti penyeragaman.

9. Misi dan pelayanan umat, misi bukanlah urusan kaum elit Gereja, para pejabat gereja harus mendukung komunitas basis.

10. Misi dan orang-orang dari kepercayaan lain, pada tahun 60-an muncul theologia religonum, suatu disiplin teologi yang tidak hanya mempertanyakan siapakah orang Kristen itu, tetapi siapakah orang-orang yang memeluk agama atau kepercayaan lain. Hal ini tidak lepas dari kenyataan pluralitas agama sejak lama di Asia serta perkembangan baru di Barat dengan bertumbuhnya penganut agama-agama lain. Timbul suatu pandangan baru yaitu dialog. Tema mengenai misi dan dialog ini makin menjadi relevan bagi Gereja-gereja dan para teolog Asia. Perspektif dari paradigma ini adalah pluralis dialogal.

Setelah membahas misi ekumenis yang diwarnai oleh pelbagai aspek dan pergumulan yang belum seluruhnya jelas dan untuk membangun suatu teologi misi dalam konteks Asia maka diperlukan suatu rekontruksi pemahaman, motivasi dan tujuan misi yang relevan dengan konteks Asia.

A. Rekontruksi Misi dalam Pluralitas Kebudayaan di Asia, misi Kristen dalam kebudayaan Asia adalah misi kontekstual, misi Allah mencakup pembaruan kebudayaan manusia kembali menjadi manifestasi kuasa dan kasih Allah kepada seluruh ciptaan-Nya.[16] Misi Kristen manusia Asia mengembangkan sikap dan penghayatan yang sudah diwarisi sejak lama untuk menghargai dan menghormati keunikan dan pluralisme.

B. Rekontruksi Misi dalam pluralistas religius di Asia, konteks kebudayaan, agama dan realitas sosial dapat dilihat sebagai “triangle” yang memiliki sudut sendiri tetapi tidak terpisahkan. Dasar yang digunakan adalah dialog bersama agama-agama Asia yang dilakukan dalam suasana penerimaan satu sama lain untuk bersama-sama mencari dan menemukan Allah sebagai kebenaran yang penuh.[17] Dialog yang dimaksud bukanlah dialog doktrin melainkan dialog konkrit tentang kemanusiaan (humanisme). Humanisme ini merupakan perwujudan otentik dari hidup beragama yang memperoleh wajah ilahi-manusiawi dan manusiawi-ilahi.[18]

C. Rekontruksi dalam konteks kemiskinan orang-orang Asia, misi yang dipahami sebagai proklamasi verbal saja harus diganti dengan misi yang menekankan kata dalam tindakan. Kalau rakyat Asia yang menderita ternyata sebagian besar bukan orang Kristen, misi Allah akan tetap sampai kepada mereka. Gereja-gereja di Asia dipanggil untuk setia dan terlibat dalam misi Allah bagi rakyat Asia.[19]

2.3. Teologi Misi yang Relevan dan Efektif.

Seperti diketahui, teologi adalah refleksi yang bersifat sistematis terhadap iman. Yang menjadi sasaran teologi adalah gambaran atau bahkan model-model mengenai Allah dan rumus-rumus yang bersifat proposisional baik yang diperoleh atau diwarisi dari tradisi para pendahulu maupun penghayatan kontemporer atau kontekstual orang beriman. Gambaran, model dan proposisi ini tidak lepas dari interaksi sosial-budaya.[20]

Pluralitas religius menyadarkan Gereja bahwa hidupnya dalam keseluruhan yang majemuk merupakan suatu gejala sosiologis. Teologi yang berfungsi (teologi fungsional) untuk penghayatan iman Gereja merupakan teologi inkulturatif atau kontekstual.

Pergumulan untuk membangun teologi kontekstual mempunyai segi konfirmasi (Firman Allah) dan segi konfrontasi (unsur-unsur konteks) terhadap konteks, disamping itu teologi kontekstual bukan sekedar kegiatan intelektual, melainkan usaha eksistensial yang melibatkan seluruh kehidupan di dalamnya. Dengan demikian sebagai tolok ukur kontekstualisasi tidak hanya suatu ortodoksi (ajaran yang benar), tetapi lebih lagi suatu ortopraksis (tindakan yang benar). Tujuan kontekstualisasi bukan memecah persaudaraan universal di antara umat Kristen, melainkan supaya ada konvergensi satu sama lain saling menghargai kepribadian, tidak memaksakan unsur kebudayaan sendiri.[21]

Theologia religionum (teologi agama-agama) selama ini terus berputar pada pendekatan-pendekatan eklesiosentris (berpusat pada Gereja),teosentris ( berpusat pada Allah) atau kristologi (berpusat pada Kristus). Kenyataan keberagaman iman dari sudut etika (etikosentrisme) lebih mementingkan dialog dalam praksis, dialog dalam menghadapi persoalan etis bersama, sebagai sesama saudara penghuni bumi.[22]

Sejak Perang Dunia II, terutama dekade 1960-an, ada kecenderungan tumbuhnya teologi konteks, yang berpijak pada lokus (tempat dan waktu) tertentu. Diantaranya adalah teologi pengharapan (Jurgen Moltman), teologi revolusi (Richard Saul), teologi pembangunan, teologi pembebasan (Amerika Latin), teologi Hitam (Afrika dan Amerika), teologi minjung (Korea) dan sebagainya. Semua teologi konteks tersebut memiliki keragaman dan kekhususan masing-masing sesuai dengan asalnya. Namun, teologi tersebut tidak berfokus pada dogma Gereja yang bersifat sekterian tetapi berfokus pada isu lokal atau global yang berkembang di masyarakat.[23]

Tanggapan teologis-misiologis lainnya di Asia dan lebih berurat-akar adalah teologi harmoni. Situasi Asia lebih majemuk, Agama Kristen di sini merupakan minoritas, sedangkan agama lain jauh lebih besar, seperti: Islam, Hindu, Budha, oleh karena itu beberapa pemimpin Gereja Asia dan sebagian umat merasa diri dipanggil untuk berdialog dengan agama-agama lain. Harmoni harus diperjuangkan secara aktif dalam keterlibatan untuk keadilan sosial. Pangkal tolak dari pertimbangan bahwa Asia sebenarnya kaya sekali dengan keragaman kebudayaan dan agama yang bermutu tinggi (seperti filsafat Tionghoa dan etika Jawa). Teologi ini berkesimpulan bahwa masalah dunia yang kompleks ini hanya bisa diatasi bila kekuatan batin dari agama-agama digali, diperbaharui, dalam universalisme, dimana semua insan yang berbeda-beda, namun bersatu, seperti anggota dalam kesatuan tubuh.[24]

Agar suatu teologi yang relevan dapat disampaikan secara efektif di tengah-tengah masyarakat maka “inkarnasi” berita Alkitab dalam proses kontekstualisasi teologi harus memperhatikan sistem sosial umat yang bersangkutan sehingga berita Alkitab itu, menjadi “berita baru” yang lebih bermakna dan diterima oleh sistem sosial yang didalamnya berita itu diaplikasikan. Pendekatan yang digunakan dalam penafsiran adalah pendekatan hermeneutika temu-lintas-teks (cross-textual interpretation). Cara baru membaca Alkitab ini adalah menafsirkan praksis kehidupan sehari-hari dengan pertolongan Alkitab.

Widi Artanto telah membagi lima tema dan corak misi yang dapat dijadikan dasar untuk membangun teologi misi gereja, yaitu:[25]

  • Misi Penciptaan
  • Misi Eksodus
  • Misi Kehambaan
  • Misi Rekonsiliasi
  • Misi Kerajaan Allah

Lima tema dan corak misi diatas mencerminkan elemen dasar, motif dan tujuan misi. Dasar misi gereja adalah misi Kerajaan Allah, sedangkan keempat tema dan corak yang lain adalah motif-motif pokok dari misi Gereja. Motif misi yang luas dan bahkan universal adalah misi Penciptaan; Motif misi dalam diri Gereja sendiri dan sikap terhadap orang lain adalah misi Kehambaan; Motif yang dinamis dalam action yang nyata adalah misi Eksodus, sedangkan konsep misi dalam konteks pluralis adalah misi Rekonsiliasi.

Istilah “rekonsiliasi” mengandung arti perdamaian atau perukunan. Rekonsiliasi dalam Gereja harus dinyatakan dengan umat manusia di dunia ini dan bahkan dengan seluruh alam semesta. Misi rekonsiliasi yang dilaksanakan oleh Gereja dalam konteks kemiskinan dan keberagaman di Asia menunjukkan dua aspek, yaitu aspek kemanusiaan dan aspek dialog.

Misi Rekonsiliasi kemanusiaan selalu mengundang partisipasi dan keterlibatan Gereja yang aktif seperti Yesus sendiri telah menderita dan disalib sebagai wujud keterlibatan-Nya dalam misi rekonsiliasi Allah.[26]

Misi rekonsiliasi dalam dialog religius (umat beragama lain) merupakan panggilan Gereja di Indonesia dalam konteks keberagaman agama yang sudah lahir berabad-abad. Atas dasar kemanusiaan bersama ini, dialog antar iman dan agama dapat dilakukan karena semua pihak bersama-sama merindukan Allah sebagai the Ultimate Concern.[27]

2.4. Misi dalam Masyarakat Pluralis di Indonesia.

Ajaran Kristen dewasa ini diartikan sebagai gerakan ketahanan melawan kekuatan berhala dan dari perusakan penciptaan, untuk mewujudkan misi ini, umat Kristen dihadapkan pada tantangan kepelbagaian/pluralitas dan perpecahan. Tapi bila kita meletakkan Kristus sebagai pusat persekutuan dan kehidupan-unum neccessarium- akan mengarahkan persatuan umat dalam menjalankan misi untuk mengubah manusia dan dunia.[28]

Dalam mengaplikasikan misi Kristen di tengah-tengah masyarakat pluralis-religius seperti Indonesia maka selayaknya teori dan doktrin yang harus digunakan adalah apa dan bagaimana harus dilakukan sebagai tanggung jawab sebagai orang percaya di dunia ini dalam tugas dan panggilannya membuat dunia ini menjadi tempat yang nyaman untuk hidup saat ini bagi semua makhluk ciptaan.[29]

Usaha rekonstruksi misi adalah usaha kontekstualisasi misi Gereja. Perjumpaan dengan dan dalam konteks Indonesia menentukan seberapa jauh rekontruksi misi itu diperlukan. Konteks Indonesia menentukan pemilihan paradigma misi yang relevan, yaitu paradigma misi ekumenis. Konteks Indonesia adalah:[30]

1. Konteks Pluralitas Agama, masalah-masalah yang ada membuat dialog antaragama di Indonesia harus dilakukan lebih serius agar pluralitas agama di Indonesia tidak menghasilkan disintegrasi, melainkan keterlibatan bersama untuk menghadapi persoalan kemanusiaan dan persoalan bangsa.

2. Konteks Sosial-Ekonomi-Politik, ditandai dengan mengendornya solidaritas sosial dan nasional akibat kesenjangan kehidupan masyarakat. Masalah kemiskinan tidak dapat dipisahkan dari masalah ketidakadilan. Keserakahan sekelompok manusia menciptakan sistem sosial-politik-ekonomi yang tidak adil dalam kehidupan masyarakat dan bangsa Indonesia.

Agar kehadiran misinya benar-benar relevan dan efektif, rekontruksi bisa dilakukan dalam paradigma misi ekumenis. Pluralitas agama dan masalah sosial-ekonomi-politik di Indonesia harus dihadapi dengan lebih realistis dan menghindari konfrontatif dengan penganut agama lain. Paradigma misi ekumenis membuka kemungkinan terjadinya dialog sehingga dalam kebersamaan itu Gereja dapat terlibat dalam masalah-masalah kemanusiaan.[31]

Gereja missioner adalah bagian integral misi yang ditujukan kepada dunia namun misi bukan urusan Gereja semata, melainkan justru merupakan misi para anggota di tengah-tengah masyarakat. Gereja karena itu tidak menjadikan dirinya sebagai pusat dan tujuan misi, tetapi menghayati spiritualitas transformatif dengan Kerajaan Allah sebagai sumber misi dan menjadikan Kerajaan Allah sebagai arah dan tujuan seluruh gerak dan kehidupannya.

Oleh karena itu misi Gereja missioner adalah misi Allah sendiri yang tampil dalam lima corak dan tema misi (Misi Penciptaan, Misi Pembebasan, Misi Kehambaan, Misi rekonsiliasi dan Misi Kerajaan Allah). Implementasi Misi Rekonsiliasi berkaitan dengan pemulihan relasi antar manusia dalam konteks perdamaian dan keadilan. Beberapa implementasi misi rekonsiliasi yang dapat diupayakan Gereja-Gereja di Indonesia:[32]

  • Penginjilan bukan bertujuan untuk pertambahan anggota, melainkan pemenuhan Kerajaan Allah, karena karya Allah hasilnya tidak dapat diukur secara kuantitas. Penginjilan bukanlah misi tunggal Gereja dalam konteks pluralitas agama dan kemiskinan di Indonesia.
  • Rekonsiliasi di dalam Gereja adalah bagian integral dari misi ini agar upaya yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat memiliki kredibilitas karena Gereja konsisten dan konskuen terhadap komitmen misinya.
  • Kebencian dan balas dendam dapat dihindari dari dalam konflik ketidakadilan bila sejak semula tujuan perjuangan keadilan bukanlah balas dendam, melainkan keadilan dalam perdamaian dan perdamaian dalam keadilan.
  • Dialog adalah jembatan untuk menghubungkan Gereja dengan pluralitas agama di Indonesia sehingga misi ekumene memperoleh makna yang kontekstual.

Ada beberapa bentuk dialog yang dapat dilakukan Gereja bersama golongan agama lain di Indonesia:[33]

1. Dialog kehidupan antarumat beriman, Gereja membuka wawasan dan pemahaman anggota-anggota dan menolong mereka untuk siap mengembangkan dialog kehidupan.

2. Dialog teologis antar iman, dapat diprakarsai oleh pemimpin agama, dialog teologis ini berisi dialog pengalaman spiritual para peserta dalam menghayati dan memahami makna teologis kehadiran agama-agama lain agar sifat intelektual dan spiritual saling melengkapi.

3. Dialog dalam aksi bersama, bersama-sama menjawab masalah-masalah kemanusiaan yang dihadapi masyarakat Indonesia. Dari visi iman Kristen, tujuan dialog dalam aksi adalah kehadiran Kerajaan Allah di bumi Indonesia dengan keadilan, perdamaian, kesejahteraan dan keutuhan ciptaan sebagai tanda-tandanya.

PENUTUP

3.1. Implementasi dan Rencana Aksi

Dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia yang majemuk ini, dimana Gereja ada dan hidup didalamnya, hendaklah dapat menjadi “garam dan terang dunia” sehingga kehadiran Gereja dan Kristen menjadi jelas dan berarti serta diterima ditengah-tengah kehidupan masyarakat.

Dialog dalam bentuk aksi bersama terhadap masalah-masalah kemanusiaan merupakan bentuk perjumpaan yang relevan dan efektif dalam masyarakat yang majemuk ini. Penginjilan dengan semangat eksklusif dengan tujuan pertambahan jumlah orang Kristen dan tidak memperhatikan konteks masyarakat disekitarnya bukanlah bentuk yang relevan, malah akan membawa ketegangan antarumat yang kontraproduktif bagi pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa Indonesia.

Hakikat misi Kristen seharusnya menghadirkan damai Allah dalam dunia khususnya Indonesia dimana kita hidup bersama dalam kepelbagaian dan keragaman yang merupakan ciptaan-Nya. Jika kita mengaku sebagai pengikut Kristus, maka kita seharusnya mengikuti teladan-Nya ketika Ia masih berada di dunia ini. Misionaris Kristen selayaknya orang-orang yang rendah hati yang menjalankan misinya tidak hanya kepada dan untuk dunia, tetapi juga bersama-sama dengan dunia dalam kepelbagaian agama dan ideologi.

Wajah misi Kristen bukanlah memperluas dan membangun Gereja yang megah, menarik orang dari agama lain maupun agama sendiri menjadi kelompok denominasinya atau menjadi orang Kristen yang fanatik dan eksklusiv. Misi Kristen hendaknya dikembalikan dengan pola pikir (mindset) dan cara pandang yang baru terhadap interpretasi pesan-pesan Alkitab. Misi Kristen selayaknya memiliki blue print terhadap konteks solidaritas kemanusiaan dan komunikasi interkultural. Orang Kristen Indonesia turut prihatin terhadap situasi kemiskinan dan pengangguran serta mau menjadi bagian dari pergumulan orang diluar kekristenan. Bukankah Yesus Kristus selalu hadir, memanggil dan mengutus siapapun kita dalam pesannya bahwa apa yang kita lakukan atau tidak lakukan untuk orang yang paling hina berarti kita melakukan atau tidak melakukan juga untuk-Nya ( bdk Mat 25:40;45).

Konsep dan pemahaman Misi Kristen ini selanjutnya diimpelementasikan dan dibuat suatu rencana aksi. Misi yang digunakan adalah misi yang relevan dan efektif dalam masyarakat Indonesia yang Pluralis, Misi Rekonsiliasi dengan dialog sebagai jembatan untuk melaksanakan program-program. Rencana aksi yang dilakukan gereja termasuk warga jemaat didalamnya memiliki kredibilitas jika penerapannya selain bertujuan keluar (eksternal) juga harus melakukan aksi kedalam dirinya sendiri (internal), dengan uraian sebagai berikut:

A. Internal:

1. Pembangunan jemaat dengan konsepsi identitas yang misioner, mengikut sertakan jemaat secara total dalam merumuskan identitas sehingga jemaat tertarik untuk melakukan program-program yang telah dirumuskan bersama. Jemaat yang vital ini berperan untuk mewujudkan tugas misi ditengah-tengah masyarakat.

2. Membentuk jaringan Gereja lokal maupun global, relasi yang bersifat Gereja dengan Gereja baik local maupun global dalam suatu jaringan kemitraan dan solidaritas akan membantu pelaksanaan misi yang bersifat universal.

3. Memperbahurui pemahaman misi sesuai pesan Alkitab, pola pikir dan cara pandang jemaat dalam menginterpretasi pesan-pesan Alkitab mempengaruhi sejauh mana bentuk misi yang relevan dan efektif dalam masyarakat yang pluralis.

4. Meningkatkan kualiatas para missioner, dalam rangka dialog umat Kristen dengan umat beragama lain tidak hanya diperlukan pemahaman tentang agama sendiri melainkan dibutuhkan juga pemahaman tentang agama-agama lain agar dialog dapat berjalan efektif dan produktif, hal ini dapat dilakukan oleh pemimpin maupun para missioner yang memiliki latar belakang intelektual yang baik.

B. Eksternal:

1. Intensifikasi dan ekstensifikasi dialog dalam pluralitas, dialog dilaksanakan dalam bentuk aksi bersama selayaknya berlangsung dengan lintas agama, lintas budaya maupun lintas kelompok sebagai mitra dialog dalam mengatasi masalah-masalah bersama yaitu kemanusiaan seperti kemiskinan, keadilan yang merupakan realitas masyarakat Indonesia.

2. Membentuk yayasan sosial dan membantu LSM, tujuan pembentukan yayasan sosial adalah dalam rangka membantu orang yang kurang mampu untuk memperoleh pendidikan yang memadai. Misi Gereja seharusnya juga membantu Lembaga Sosial Masyarakat dalam memperjuangkan tema-tema kemanusiaan, keadilan, advokasi hak-hak rakyat yang lemah yang sejalan dengan misi Kristen.

3. Menciptakan lapangan kerja, membantu menyalurkan dan membekalinya dengan mendidik masyarakat marjinal dengan program siap pakai dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

4. Menolong orang agar terhindar dari wabah penyakit disekitarnya, ikut prihatin dengan melaksanakan aksi bersama masyarakat memberantas wabah penyakit menular seperti: wabah demam berdarah, flu burung dan lainnya. Termasuk didalamnya menyadarkan warga masyarakat tentang bahaya penggunaan Obat terlarang (Napza) dan pemahaman tentang bahaya AIDS.

5. Menjaga kelestarian lingkungan, Gereja memberi pengertian kepada warganya agar mengusahakan kebutuhan sehari-hari dengan bersikap sayang dan ramah kepada lingkungannya, agar tidak terjadi bencana bagi masyarakat akibat pembakaran dan perusakan hutan, pencemaran air maupun udara atau lainnya.

6. Mengapresiasi budaya setempat, Misi yang kontekstual berarti menempatkan diri dalam suatu proses berbudaya, oleh karena itu refleksi penghargaan kita terhadap budaya dalam kehidupan berjemaat dapat dilaksanakan dalm bentuk penggunaan musik Gereja dan pengembangan liturgi dalam suatu bentuk budaya tertentu (setempat).

3.2. Kesimpulan

Misi terutama adalah karya Allah dalam dunia ini untuk menyelamatkan dan memelihara ciptaan-Nya. Tempat yang utama untuk melihat karya Allah ini adalah di tengah-tengah orang miskin dan tertindas. Jeritan mereka adalah panggilan Allah kepada Gereja untuk turut memperjuangkan keadilan dan kesejahteraan bagi mereka. Misi Allah tidak dibatasi dengan misi Gereja yang cenderung untuk memiliki kekuasaan (power), kemuliaan (glory) dan uang (gold). Dewasa ini kehadiran umat Kristiani harus dirasakan dan produktif untuk mewujudkan kerukunan dan kedamaian ditengah-tengah kehidupan masyarakat Indonesia yang pluralis sehingga nama Tuhan dipermuliakan (bdk Mat 5:16).

Ketika eklusivisme agama Kristen ditolak, maka terbukalah jalan untuk memahami pluralitas agama-agama dengan lebih terbuka, secara metodologis, paradigma pluralisme ini disebut pula teosentrisme (bentuk dari hasil kritik terhadap ekliosentris dan kristosentris). Premis dasar pendekatan teosentris yang dikerjkan para pluralis terletak pada kehendak universal Allah untuk menyelamatkan seluruh manusia. Perjumpaan orang Kristen dalam kehidupan masyarakat pluralis haruslah dilihat bermanfaat bagi pemurnian dan pendewasaan spiritualitas iman Kristen.

Kondisi obyektif keagamaan di Indonesia menunjuk pada kenyataan bahwa kebersamaan dalam kepelbagaian adalah satu-satunya corak hidup yang tepat. Misi dalam konteks pluralis adalah Misi rekonsiliasi, mewujud dalam dialog yang perlu dilaksanakan Gereja dalam konteks kemiskinan dan keberagaman. “Dialog” dengan syarat ataupun tanpa syarat, yang dicari adalah menemui manusia, menyatu hati, pikiran jiwa sebagai wujud kesimbangan atau persaudaraan yang asli (bdk Flp 2:20; Rom 12:16; Kor 1:10 dll).

Hidup kekristenan adalah hidup yang mengagungkan pemberian diri Kristus dengan cara memberi diri kepada yang lain. Inilah ciri khas iman Kristen yang harus dibawa dalam dialog dan menggambarkan Kristus yang unik sesuai dengan tema knosis yang dikemukakan Paulus dalam Filifi 2:6-11. Karena bukankah Misi yang dihadirkan dan diberitakan adalah Misi Kerajaan Allah.


[1] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 186.

[2] Julius Pour, Toleransi Masyarakat Sudah Lampu Kuning, Kompas, 27 Juni 2007, 35.

[3] Th Sumartana, Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia. Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun Vol 4, No 13 (1997/1998), 33.

[4] John Campbell-Nelson. et al editor, Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual. Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 167.

[5] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 58.

[6] J B Banawiratma, Misi, Globalisasi dan Kaum Miskin di Indonesia, Jurnal Teologi Proklamasi, Ed 8 ( 2006), 42.

[7] Aristarchus Sukarto, Pemikiran Kembali Kristologi untuk Menyongsong Dialog Kristen-Islam di Indonesia, Jurnal Teologi dan Gereja Penuntun Vol 4, No 13 (1997/1998): 23-24.

[8] Ibid, 24.

[9] Emanuel Gerrit Singgih,. Berteologi dalam Konteks (Jakarta: Gunung Mulia, 2000), 161.

[10] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 84-96.

[11] Ibid, 23-32.

[12] Ibid,33

[13] Ibid, 35-47.

[14] Ibid, 49-54.

[15] Ibid, 57-81.

[16] Ibid,107.

[17] Ibid, 110.

[18] John Campbell-Nelson. et al editor, Mengupayakan Misi Gereja yang Kontekstual. Studi Institut Misiologi Persetia 1992 (Jakarta: Persetia, 1995), 85-86.

[19] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 113,116.

[20] A N Natar, et al editor, Teologi Operatif (Jakarta: Gunung Mulia,2003), 14.

[21] B F Drewes & J Mojau, Apa itu Teologi? ( Jakarta: Gunung Mulia, 2003), 162-164.

[22] Joas Adiprasetya, Mencari Dasar Bersama: Etik Global dalam Kajian Postmodernisme dan Pluralisme Agama (Jakarta: Gunung Mulia, 2002), 2.

[23] A N Natar, et al editor, Teologi Operatif (Jakarta: Gunung Mulia,2003), 42.

[24] Franz Dahler, A Pluralist Missiology for Contemporary in Indonesia, Jurnal Teologi Proklamasi, Ed 8, (2006), 80-82.

[25] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 118.

[26] Ibid, 55.

[27] Ibid, 156-157.

[28] Frans J Verstralen , Christianity in New Key (Zimbabwe : Mambo Press, 1996), 63-64.

[29] Ioanes Rakhmat, A Pluralist Missiology for Contemporary in Indonesia. Jurnal Teologi Proklamasi, Ed 8, (2006), 2.

[30] Widi Artanto, Menjadi Gereja Missioner Dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Gunung Mulia, 1997), 187-200

[31] Ibid, 200-204

[32] Ibid, 233-237

[33] Ibid, 237-241



by galilean mission